Alasan
setiap manusia menuntut ilmu setinggi-tingginya baik dengan pendidikan
formal di sekolah atau pelatihan-pelatihan, bekerja siang dan malam
membanting tulang tanpa kenal lelah, mulai dari Pak Petani di sawah dan
ladang sampai ke Pak Presiden di istana megah nan menjulang, adalah
karena satu dorongan yaitu demi meraih kebahagiaan. Namun, mengapa
kebahagiaan itu tak jua kunjung didapat? Mengapa hidup ini tetap saja
terasa ruwet, sumpek, tidak bahagia walau kekayaan sudah ditangan,
jabatan tinggi sudah berhasil diraih, bahkan popularitas sudah pula
diperoleh.
Tulisan ini
saya peruntukkan bagi mereka, para pencari kebahagiaan, tak terkecuali
diri saya sendiri, agar dapat kembali mengingat apa hakikat sebenarnya
dari usaha mencari kebahagiaan ini
Menurut
kamus besar bahasa Indonesia, arti kata kebahagiaan adalah kesenangan
dan ketentraman hidup yang bersifat lahir dan batin. Demi meraih
kebahagiaan ini, manusia rela melakukan apa saja walau sampai harus
melukai dirinya sendiri. Permasalahannya, kadang kita keliru dalam
memahami konsep kebahagiaan yang akibatnya membuat kita keliru pula
dalam cara mewujudkannya. Sudah menjadi pemahaman umum bahwa kebahagiaan
itu bersumber dari tiga hal yaitu; kekayaan, popularitas, dan
kekuasaan.
Sebut saja seorang ayah
yang sedang menasehati anaknya untuk rajin belajar di sekolah. Sudah
tidak asing lagi rasanya ditelinga kita bahwa sang Ayah akan berkata,
“rajin-rajin
lah belajar di sekolah ya nak, agar kamu jadi orang pinter, kalo kamu
pinter kamu bisa bekerja di tempat yang bagus, jadi kamu bisa punya uang
yang banyak, bisa punya rumah yang bagus, bisa hidup layak dihargai dan
dikenal masyarakat, dan tentu suatu saat bisa juga membantu orang-orang
yang lemah”.
Sekilas, memang tidak
ada yang salah pada kalimat sang ayah, bahkan mungkin terdengar mulia,
karena sang ayah mendidik si anak agar menjadi orang yang dermawan.
Namun, apakah kalau tidak bisa jadi orang kaya, lantas semua kebahagiaan
itu akan sirna? Lalu bagaimana dengan nasib orang yang terlahir dengan
kondisi tidak sempurna, seperti cacat tidak memiliki kaki atau tangan,
sehingga tidak mampu melakukan apa-apa selain meminta pertolongan; atau
bagaimana dengan nasib orang yang lahir dari keluarga miskin seperti
dibelahan dunia Afrika sana? Jangankan memikirkan pendidikan, memikirkan
masalah makanan untuk esok hari saja amatlah sulit. Apakah kebahagiaan
hanya untuk mereka yang kebetulan bernasib baik lahir dengan kondisi
sehat dan serba lengkap? Atau kebahagiaan hanya milik mereka yang sukses
mendapatkan harta berlimpah, terkenal, dan punya jabatan penting?
Dimanakah letak keadilan Tuhan?
Kesalahan
dalam memahami konsep kebahagiaan dapat berakibat sangat fatal.
Contohnya, fenomena yang terjadi di Jepang. Jepang dikenal dengan negara
super power dalam hal kekuatan ekonomi, teknologi, maupun
karakter manusianya yang sangat santun, taat aturan, pekerja keras,
jujur, dan juga sangat ramah. Namun disisi lain, Jepang juga sangat
terkenal sebagai negara yang sangat tinggi angka bunuh dirinya. Pihak
kepolisian Jepang mencatat kasus bunuh diri di Jepang mencapai sekitar
33 ribu orang pada tahun 2009 atau sekitar 100 orang setiap harinya.
Bayangkan! ada 100 orang setiap hari bunuh diri di Jepang. Celakanya,
fenomena bunuh diri ini berada pada urutan tertinggi dari penyebab
kematian di Jepang untuk orang yang berumur antara 20-39 tahun, yaitu
umur produktif dalam bekerja.
Lembaga-lembaga
penelitian masyarakat mengungkapkan bahwa penyebab utama dari tingginya
angka bunuh diri ini adalah karena depresi mental akibat tekanan
ekonomi dan sosial. Sungguh paradoks rasanya mengingat Jepang sebuah
negara yang kaya, dengan penduduknya yang rata-rata berpendidikan
tinggi, fasilitas pemenuh kebutuhan dan kesehatan tersedia dengan
lengkap, namun tetap saja masyarakatnya tidak juga dapat memperoleh
kebahagiaan; sehingga memilih mati bunuh diri karena putus asa menjalani
pahitnya kehidupan.
---
Dalam
upaya meraih kebahagiaan, sering kali kita keliru dalam membedakan mana
kesenangan dan mana kebahagiaan. Hal ini mengakibatkan kita terjebak
pada kesenangan yang tidak membawa pada kebahagiaan. Untuk itu kita
harus dapat membedakan dengan baik antara kesenangan dan kebahagiaan.
Menurut
ilmu kedokteran, kesenangan adalah aktifitas yang dapat diamati secara
fisik pada otak manusia yang terjadi akibat dirangsangnya saraf “pusat
kesenangan” atau “pleasure center”. Saraf yang dirangsang ini
akan menghasilkan mekanisme hormonal, yaitu keluarnya suatu zat kimia
dari neuron di otak yang mengakibatkan timbulnya rasa enak, senang, dan
nikmat. Jadi, untuk memperoleh rasa senang, mudah saja caranya, yaitu
dengan merangsang saraf pusat kesenangan ini, misalnya dengan
obat-obatan tanpa perlu bekerja atau bersusah payah. Sayangnya hal ini
tidak dapat bertahan lama. Sementara kebahagiaan adalah keadaan yang
berlangsung lama, tidak sementara, yang berhubungan dengan penilaian
pada kehidupan secara keseluruhan. Kegagalan dalam membedakan makna
kesenangan dan kebahagiaan membuat kita sering kali terfokus pada
pemenuhan kesenangan, bukan kebahagiaan itu sendiri.
Tidak
semua kesenangan membawa kebahagiaan. Sudah sering kita temukan
fakta-fakta bahwa orang-orang yang secara umum dianggap bahagia, malah
tidak merasa bahagia. Contohnya artis-artis terkenal yang malah stres
karena tidak memiliki kehidupan pribadi yang normal akibat ketenarannya
sendiri, seorang politikus yang malah menjadi sakit jiwa karena bangkrut
akibat kalah kampanye, atau seorang konglomerat kaya raya yang merasa
depresi tidak bahagia karena keluarganya berantakan kurang perhatian dan
kasih sayang. Lebih parahnya lagi, pemenuhan kesenangan untuk mencapai
kebahagiaan ini justru yang alih-alih menjadi salah satu penyebab utama
rusaknya moral masyarakat, sehingga terjadi masalah kecanduan obat-obat
terlarang, miras, penyakit sex karena gaya hidup bebas, pencurian,
perampokan, korupsi, pembunuhan, dan tindakan kriminal lain yang
dilakukan demi mendapatkan kebahagiaan, padahal yang diperoleh hanya
kesenangan sementara.
Allah SWT berfirman pada Al-Qur’an surat Thaahaa ayat 124;
“dan
Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya
penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat
dalam keadaan buta". (Q.S.Thaahaa (20) : 124)
Rekan-rekan
pencari kebahagiaan, pada surat Thaahaa diatas sebenarnya Sang Pencipta
telah dengan jelas memberikan jawaban atas sumber dari semua
permasalahan kebahagiaan. Allah SWT mengungkapkan rahasia penting bahwa
pengabaian kita terhadap aturan-aturan dan peringatan-Nya akan
mengakibatkan setidaknya dua bencana besar.
Yang
pertama adalah kehidupan dunia yang sempit. Hidup dirundung banyak
masalah, silih berganti dari satu masalah ke masalah yang lain. Hidup
terasa sumpek, stres, ruwet, dan tidak kunjung bahagia padahal harta dan
kekayaan sudah ditangan, jabatan penting sudah berhasil diraih, bahkan
popularitas sudah pula diperoleh.
Yang
Kedua adalah yang paling parah, yaitu sudah lah tidak mendapatkan
kebahagiaan di dunia, di akhirat pun sudah pasti akan mendapat siksa.
Kita akan dikumpulkan dan diazab serta dibuat buta diakhirat nanti. Naudzubillah min dzalik.
Lalu apa yang harus kita lakukan agar dapat memperoleh kebahagian hidup? Pada ayat yang lain Allah SWT berfirman:
“Barangsiapa
yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan
yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan
pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (Q.S.An-Nahl (16) : 97).
Sudah
sangat tegas penjelasan Allah SWT pada surat An-Nahl ayat 97 ini bahwa
satu-satunya cara memperoleh kebahagiaan atau kehidupan yang baik itu
adalah dengan mengerjakan amal-amal sholeh; yaitu taat pada seluruh
aturan-Nya dan menjalankan segala perintah serta larangan-Nya.
Inilah
konsep kebahagiaan yang hakiki; yaitu tujuan hidup kita di dunia ini,
baik itu dalam belajar, bekerja, ataupun berusaha, hanya satu saja
“mendapatkan ridho Allah SWT”.
Kekayaan,
popularitas dan kekuasaan tidak lagi menjadi tujuan utama; sehingga
terlepas apakah sebuah usaha kita berhasil atau gagal, kita akan tetap
merasa bahagia karena tujuan utama kita dalam berusaha adalah
mendapatkan ridho Allah SWT, bukan kekayaan, popularitas, ataupun
jabatan semata.
Seberat apapun
cobaan, kesulitan, dan penderitaan yang dirasakan, akan dapat dilalui
dengan ikhlas, mudah, dan hati lapang; karena kita yakin Allah SWT akan
membalas semua usaha itu dengan ganjaran pahala yang berlipat ganda. Ini
lah yang dimaksud dengan kehidupan yang baik pada surat An-Nahl (16) :
97 diatas, yaitu tercapainya kebahagiaan hakiki. Hidup jadi terasa
ringan, mudah, simple, penuh makna, tidak sia-sia, dan tanpa
beban, karena kunci kebahagiaan adalah bukan pada hasil tetapi pada cara
mewujudkannya. Hati akan senantiasa ikhlas menerima apapun ketentuan
Tuhan, karena yakin bahwa itu lah hasil terbaik yang diberikan Sang Maha
Pengasih dan Penyayang.
Dengan
konsep kebahagiaan hakiki ini, masalah ketidakadilan Tuhan yang saya
kemukakan diawal tulisan ini dapat dengan mudah dipecahkan. Walaupun
seorang manusia dilahirkan dengan kondisi cacat dan dari keluarga miskin
sekalipun, atau semua usaha yang dilakukan berujung pada kegagalan dan
penderitaan sekalipun, semua itu tidak akan membuatnya tidak bahagia dan
putus asa apalagi sampai bunuh diri. Karena, sekali lagi, kebahagiaan
hakiki diperoleh ketika ia berhasil mendapatkan ganjaran pahala atas apa
yang diusahakannya; yaitu usaha yang dilakukan dengan dasar
aturan-aturan yang ditetapkan dalam Al-Qur’an dan dicontohkan oleh Nabi
Muhammad SAW. Sebagai tambahan, dengan dilengkapi pemahaman yang baik
dalam membedakan kesenangan dan kebahagiaan, kita jadi lebih pandai
memilih kesenangan apa yang boleh dan baik untuk kita, sehingga pada
akhirnya benar-benar tercapai kebahagiaan yang hakiki.
Akhirnya,
agar kita selalu menjadi orang yang sukses, beruntung, bahagia, dan
selalu mendapat petunjuk dari Allah SWT, izinkan saya menutup tulisan
ini dengan mensitir Surat Al-Baqarah (1) ayat 2-5 yang artinya; “Kitab Al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.
(yaitu) Mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan salat, dan
menginfakkan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka, dan Mereka
yang beriman kepada (Al-Qur’an) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan
(kitab-kitab) yang telah diturunkan sebelum engkau, dan Mereka yakin
akan adanya akhirat. Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Karena itu, jadilah orang yang bertakwa jika ingin bahagia!!